Selasa, 18 Desember 2012

Diduga Terkait Teror Solo, Santri Ditangkap

Salah satu pos polisi yang menjadi obyek teror kelompok Farhan, cs

Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap Ali Zaenal Abidin (20), santri Pondok Pesantren Ma’had Aly Tahfidhul Qur’an El-Suchary, Kelurahan Purbalingga Lor, Kecamatan Purbalingga, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, pada Minggu (16/12/2012) pagi.

Ali diduga terlibat kelompok Farhan Mujahid yang melakukan serangkaian aksi teror terhadap beberapa pos pengamanan dan pos polisi di Kota Solo sepanjang Agustus 2012. Kegiatan terorisme tersebut dilakukan sebelum yang bersangkutan pindah ke Purbalingga dua bulan lalu.

“Kata polisi Ali diduga ada hubungannya dengan kasus penembakan di Solo,” kata pengasuh Ponpes El Suchary, Ahmad Toha Husein, seperti dilansir Kompas.com, Senin (17/12/2012).

Minggu pagi, kemarin, Ali Zaenal Abidin ditangkap saat pulang dari pasar setelah berbelanja.

Ali diketahui warga Dusun Ngruki RT 05/RW 17, Desa Cemani, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo.Yang bersangkutan diduga terkait dengan kelompok Farhan, cs yang terlibat tiga aksi penyerangan terhadap pos pengamanan dan pos polisi di Solo selama bulan Agustus 2012.

Aksi-aksi tersebut meliputi penembakan di Pospam Simpang Gemblengan, Jumat (17/8/2012), dan di Bundaran Gladak, Jalan Jenderal Sudirman, Sabtu (18/8/2012). Aksi terakhir terjadi di Pos Polisi Singoaren, Serengan, Solo, Kamis (30/8/2012) yang menewaskan seorang anggota kepolisian yakni Bripka Dwi Data Subekti.

Menurut Kepala Polres Purbalingga Ajun Komisaris Besar Ferdy Sambo, pihak ponpes El Suchary awalnya menyangka Ali diculik dan sempat melaporkan kejadian ini ke Polres Purbalingga. Namun setelah mendapatkan penjelasan dari petugas Polres Purbalingga, pihak Ponpes baru mengetahui jika penangkapan tersebut bukanlah penculikan.

Pihak Pondok Pesantren membantah penangkapan Ali Zaenal Abidin (20) oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror berkaitan dengan pondok tersebut. Ali disebut baru belajar dua bulan dan belum terkait keorganisasian apa pun dengan pesantren itu.

Ahmad Toha Husein, menegaskan, Ali Zaenal Abidin belum genap tiga bulan belajar di pesantren yang  ia asuh. Ia masuk pada 26 September 2012. Sebelumnya, Ali pernah belajar di Ponpes Ngruki pimpinan terpidana kasus terorisme Abu Bakar Ba’­asyir.

“Kami menerima siapa saja yang ingin ngaji di sini. Kami tidak tahu kalau ternyata ia terduga teroris,” ujar Toha seperti dikutip suaramerdeka.com.

Menurut dia, Ali masuk ponpes tersebut karena lulus saat mengikuti seleksi masuk ke pondok yang hanya di huni oleh 30 santri pada setiap angkatan tersebut. Toha menerangkan, untuk hidup dan belajar di ponpes tersebut tidak dikenai biaya alias gratis.

“Bila ternyata dia teroris, itu adalah permasalahannya sendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan pesantren kami,” imbuh Toha menandaskan.

Kapolres Purbalingga AKBP Ferdy Sambo mengatakan, Ali tidak diamankan di Mapolres, tapi langsung dibawa ke Mabes Polri.

Pemuda Jadi Sasaran Empuk Radikalisme, Keluarga Harus Berperan Aktif


Penanganan radikalisme dan terorisme tidak hanya menjadi tugas pemerintah dan aparat semata. Namun organisasi kemasyarakatan (ormas) dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) memiliki tanggung jawab dan peran penting. Hal tersebut diungkapkan Direktur Moderate Muslim Society (MMS) Agus Muhammad.

“Ormas berkewajiban untuk menyerukan kepada seluruh anggotanya dan masyarakat, bahwa persoalan radikalisme dan terorisme sedang mengancam bangsa dan menjadikan remaja menjadi target. Karena itu, para keluarga harus mewaspadai anak-anaknya,” kata Agus pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Menurut Agus, selain ormas, peran sekolah dan orang tua juga sangat penting, karena perkembangannya generasi muda sudah menjadi sasaran empuk kelompok teror dalam melakukan aksinya.

Dalam hal ini, kata Agus, sekolah dan orang tua harus berperan aktif. “Ngapain saja di sekolah. Harus ditanyakan pada gurunya bagaimana tingkah lakunya. Demikian juga di luar sekolah, dia ngapain saja. Mungkin saja proses indoktrinasi terorisme itu ada di sekolah,” ungkapnya.

Orang tua, lanjut Agus, harus tahu kegiatan anak-anaknya tidak hanya di luar sekolah, tetapi juga di lingkungan sekolah, orang tua harus mengetahui. “Orang tua harus tahu kegiatan anaknya, sehingga ketika ada kecenderungan yang berbeda dari anaknya untuk menjadi teroris misalnya, maka orang tua bisa lapor ke pihak sekolah, bahkan dia bisa melakukan terapi sendiri kepada anaknya,” kata dia.

Terorisme Marak, Menag Nilai Dakwah Ulama Masih Kurang


Menteri Agama, Suryadharma Ali menilai dakwah yang dilakukan oleh alim ulama dan santri kepada masyarakat masih kurang. Hal ini terbukti dengan masih maraknya aliran sesat namun mengaku Islam, serta ajaran radikalisme dan terorisme.

“Ini keprihatinan kita bersama. Mari kita bertekad untuk mensuplai ummat dengan informasi ajaran Islam yang benar. Juga mari kita datangi saudara-saudara kita yang terlanjur mendapatkan ajaran yang salah, untuk kita ajak kembali kepada ajaran yang benar,” kata Menag pada acara Halaqah Nasional I Kiai Pondok Pesantren Ahlussunah Wal Jamaah di Ponpes Al-Qur’an Al-Falah 2, Nagrek, Kabupaten Bandung, seperti dilansir laman Kementerian Agama.

Menurut Menag, dengan melakukan dakwah sesuai ajaran Ahlussunah Wal Jamaah yang sesuai ajaran Alquran dan Sunah Nabi, maka akan tampak ajaran Islam yang damai, santun, moderat, serta jauh dari kekerasan. “Mari kita tunjukkan kepada dunia, bahwa jangan seenaknya mengaitkan Islam dengan radikalisme dan terorisme. Terlebih lagi mengaitkan radikalisme dan terorisme dengan Pondok Pesantren,” kata Menag.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Nasional Pemberantasan Terorisme (BNPT), Irjen Pol (Purn) H. Arsyaad Mbai mengatakan bahwa perlu dicegah upaya menanamkan radikalisme dan membenci NKRI kepada generasi muda melalui pengajaran Islam yang salah.

Arsyaad menambahkan bahwa saat in dideteksi ada segelintir Pondok Pesantren yang mengajarkan berbagai bentuk radikalisme, seperti mengharamkan hormat kepada bendera dan mengamalkan Pancasila. “Yang seperti itu hanya segelintir jumlahnya, karena Ponpes kita mayoritas mengajarkan Islam yang damai, sejuk, dan moderat, serta cinta NKRI,” ungkapnya.

Namun demikian, yang sedikit ini tidak bisa dibiarkan, harus dipantau untuk selanjutnya dibina bersama para kiai yang ada. Ini demi menjaga citra Pondok Pesantren, demi ummat, dan demi menjaga keutuhan NKRI.

Pemerintah Harus Atasi Radikalisme Agama di Sekolah


Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Badriyah Fayumi mengatakan sejumlah sekolah telah mengajarkan intoleransi dan mengarahkan siswa untuk memiliki fanatisme terhadap ajaran agama tertentu.

Badriyah Fayumi mengatakan bahwa indoktrinasi semacam itu sudah berjalan melalui kegiatan yang sistematis di sejumlah lembaga pendidikan, dan akan berbahaya jika dibiarkan.

Anak, menurut Badriyah, sangat rawan menjadi korban indoktrinasi dan juga rentan untuk meneruskan tradisi intoleransi.  Ia menambahkan kurikulum pendidikan harus betul-betul memiliki muatan yang mengajarkan toleransi.

“Radikalisme di sekolah itu terjadi dari level yang paling dini sampai level perguruan tinggi, antara lain melalui proses indoktrinasi bahwa yang lain yang tidak sama seperti kita adalah musuh kita, boleh kita serang, boleh kita perangi,” ujar Badriyah.

“Bahkan kami mendapatkan pengaduan dari guru TK di Depok, yang kemudian ayahnya mengeluarkan anaknya dari TK tersebut, karena anaknya pulang mengatakan bahwa ‘Oh, itu berbeda agamanya dengan kita, berarti dia boleh dibunuh’.”

Badriyah mengatakan kasus indoktrinasi seperti itu juga dapat terjadi melalui kegiatan ekstrakurikuler keagamaan yang ada di sekolah.

Sumber: Voaindonesia.com

Quraish Shihab: Jangan Korbankan Toleransi Atas Nama Aqidah, Atau Pun Sebaliknya



Dalam agama Islam dikenal istilah tasamuh untuk merujuk pada toleransi. Menurut Quraish Shihab toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih dapat diterima. Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan. singkatnya penyimpangan yang dapat dibenarkan.

Islam menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial dan memiliki berbagai macam perbedaan. perbedaan bukan hanya keniscayaan tetapi juga kebutuhan. Tapi pada saat yang sama Tuhan menghendaki juga agar manusia bersama. Bersama dengan Tuhan dan bersama dengan seluruh manusia.

“Keniscayaan perbedaan dan keharusan persatuan itulah yang mengantar manusia harus bertoleransi. Karena semua manusia mendambakan kedamaian. Tanpa toleransi tidak mungkin ada kedamaian. Semua manusia mendambakan kemaslahatan, dan tanpa toleransi tidak akan ada kemaslahatan. Semua menginginkan kemajuan dan tanpa toleransi kemajuan tidak akan tercapai” Ungkap pakar tafsir Quraish Shihab.

Islam memahami toleransi bukan saja dalam kehidupan bermasyarakat tetapi juga dalam kehidupan beragama. Banyak sekali contoh dalam al Qur’an dan juga kisah nabi SAW yang memperlihatkan kadar toleransi yang sangat begitu tinggi.

Quraish Shihab mengkisahkan, dalam perjanjian Hudaibiyyah, nabi SAW menulis kata bismillahi rahmani rohim pada perjanjian. Namun orang-orang musyrik tidak terima dengan kalimat basmallah tersebut. Mereka menginginkan ditulis bismikallauhumma. Dan nabi SAW akhirnya menyetujuinya. Sebenarnya para sahabat tidak bisa mentoleransi hal tersebut. Tetapi nabi SAW yang penuh dengan toleransi menghapus kata itu demi kemaslahatan dan perdamian.

Menurut Quraish Shihab kita memang tidak boleh mengorbankan aqidah demi toleransi, tetapi dalam saat yang sama kita tidak boleh mengorbankan toleransi atas nama aqidah. Karena itu sekian banyak ayat al Qur’an berbicara dan menganjurkan untuk bertoleransi, misalnya dalam surat Saba’ 25-26.

Anggota JI Diduga Hendak Beraksi di Filipina

Struktur Organisasi JI

Pemerintah Filipina memperketat penjagaan di Kota Davao setelah informasi intelijen mengungkapkan kelompok Jamaah Islamiyah (JI) akan melakukan aksi pengeboman di kota itu. Ini dilakukan untuk mencegah timbulnya serangan mendadak.

Sebelumnya aparat Filipina menyergap seorang anggota JI berkebangsaan Malaysia di Kota Davao. Warga Malaysia yang ditangkap itu diduga sebagai ahli pembuat bom. Warga Malaysia bernama Mohammad Noor Fikri Abdul Kahar itu ditembak mati dalam operasi penyergapan tersebut.

“Informasi intelijen menyebutkan, JI akan melakukan aksi pengeboman di Kota Davao. Tetapi pihak intelijen tidak menyebutkan kapan dan di mana tepatnya aksi tersebut akan dilaksanakan,” ujar Kepala Polisi Kota Davao, Ronald dela Rosa, seperti dikutip okezone dari The Star, Senin (17/12/2012).

“Kami telah memperketat penjagaan di tempat-tempat ramai seperti pusat perbelanjaan, hotel dan juga gereja. Kami juga menjaga akses keluar masuk di pelabuhan,” jelas dela Rosa.

Beberapa pihak menduga JI akan melakukan aksi bomnya di sebuah hotel di Kota Davao seperti yang pernah dilakukannya terhadap Hotel JW Marriot di Jakarta pada 2009 lalu.

Sementara dalam pemeriksaan polisi, istri Fikri yang ditangkap hidup dalam baku tembak itu mengaku, mereka bermaksud untuk melakukan serangan terhadap sebuah bus dan meminta uang tebusan dari pemilik bus tersebut.

Namun, pihak berwenang Filipina tidak percaya begitu saja dan langsung melakukan penyelidikan. Pejabat senior Kepolisian Filipina Ronald dela Rosa mengatakan, pihaknya meragukan keterangan itu.

“Kami yakin mereka berdua bermaksud melakukan serangan kepada relawan asing yang bekerja membantu wilayah yang dihantam topan (Bopha). Mereka juga bermaksud untuk menyerang gereja di Filipina sebagai aksi terorisme,” ujar Rosa, seperti dikutip Associated Press, Senin (17/12/2012).

Rencana pengeboman oleh JI ini muncul ditengah-tengah persiapan warga Filipina untuk merayakan natal. Pemerintah Filipina juga masih disibukkan oleh proses penanganan dampak bencana Topan Bopha di wilayah selatan negara itu yang diperkirakan telah memakan korban jiwa hingga 1.000 orang.

Sumber: Okezone