Selasa, 19 Februari 2013

Terorisme Tidak Identik dengan Islam


Dosen Fakultas Adab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan, aksi terorisme yang kerap terjadi di belahan dunia, khususnya Indonesia tidak bisa identik dengan Islam. Karena aksi teror itu bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa mengenal agama, etnis, bangsa, dan negara.

“Aksi terorisme itu bisa dilakukan oleh siapapun. Karena itu tidak bisa diidentik dengan Islam. Hanya kebetulan saja beberapa aksi teror yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya Islam,” kata Ainul Yaqin pada Lazuardi Birru.

Menurut dia, orang kadang hanya memaknai terorisme itu terkait dengan sesuatu yang ada kaitannya dengan agama, padahal tingkah laku kelompok, tingkah laku sebauh negara yang melakukan teror pada negara lain juga masuk kategori terorisme.

Karena itu, ia berharap agar publik tidak lagi berpikiran sempit, apalagi mengidentikkan terorisme dengan Islam. Menurut dia, aksi terorisme bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak memandang agama, etnis, bangsa, dan negara. “Meskipun sekarang pandangan orang pada umumnya mengaitkan terorisme dengan Islam, itu karena ulah oknum yang tidak bertanggungjawab,” ungkapnya.

Jumat, 15 Februari 2013

Kelompok Intoleran Telah Merongrong NKRI


Sebagai nation-state yang dibangun di atas kebhinnekaan, setidaknya Indonesia sudah menunjukkan pada dunia internasional sebagai negara yang sukses mengakomodir pelbagai kelompok dan kepentingan yang beragam. Karena itu, sudah selayaknya prestasi bangsa ini dipertahankan.

Namun bukan berarti kesuksesan itu berjalan mulus. Banyak tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini dalam mengawal keberagaman dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu rongrongan itu datang dari kelompok intoleran yang kerap melakukan aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Karena ulah kelompok intoleran ini, kemajemukan yang menjadi ciri khas bangsa ini terancam. Bahkan kelompok intoleran ini sudah merongrong NKRI.

Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Qodrunnada Wahid membenarkan hal itu. Menurut dia, kelompok intoleran ini telah merongrong keutuhan NKRI. “Mereka telah merongrong NKRI. Ada pemikiran Gus Dur yang beliau ungkapkan di salah satu tulisannya. Beliau menulis bahwa Indonesia dibangun dari keberagaman. Kalau tidak ada keberagaman itu, berarti tidak akan ada Indonesia,” kata Alissa pada Lazuardi Birru.

Menurut dia, tahun 1945 itu adalah kesepakatan dari pelbagai elemen yang ingin bersama-sama memerdekakan diri. Artinya, kata Alissa, kalau tidak ada keberagaman, tidak akan ada Indonesia, yang ada hanya Keraton Ngayogyakarta, Negara Pasundan, Republik Federal Sumatra, Republik Maluku Selatan, dan lain-lain. “Tapi karena waktu itu mereka bersepakat untuk membangun satu bangsa, satu negara, maka jadilah Indonesia,” imbuhnya.

Lebih jauh Alissa mengatakan, di negara Indonesia ini tidak ada entitas yang lebih tinggi. Bukan Republik Jawa, kemudian yang lain ikut, atau bukan Suku Bangsa Melayu, lalu yang lain ikut. “Kita tidak punya daratan Indonesia, adanya Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan lain sebagainya yang sepakat menyebut dirinya sebagai Negara Indonesia. Artinya kalau sekarang ada yang menawarkan ideologi yang berbeda untuk bangsa kita, maka sebenarnya itu meniadakan Indonesia,” pungkasnya.

Senin, 11 Februari 2013

Islam Sufistik Ampuh Tangkal Paham Radikalisme dan Terorisme Islam


Untuk menangkal arus radikalisme dan terorisme dalam tubuh Islam, harus ada gerakan atau mekanisme internal tubuh Islam itu sendiri. Menurut cedekiawan muslim, Munir Mulkhan, salah satunya bisa dengan diseminasi keberislaman yang sufistik.

Namun Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini lebih menspesifikkan tasawuf yang tak bertarekat. Karena menurutnya sufi dalam tarekat juga menciptakan ekslusifisme sendiri.

“Kalau menurut saya tasawuf bisa memberikan solusi atas pemahaman agama yang radikal. Tapi bukan tasawuf yang bertarekat. Karena dalam tarekat bersifat ekslusif dalam artian membuat orang semakin terperangkap pada kelompok-kelompok. Jadi maksud saya adalah tasawuf dalam pengertian maqasid syari’ah” tutur Munir Mulkhan.

Ajaran-ajaran tasawuf sangat menekankan aspek substansial dan esensial dari Islam. berbeda dengan paham keislaman radikal atau teroris yang memaknai dalil-dalil secara literal sehingga tidak bisa berkompromi kondisi kekinian.

Bahkan menurut Munir Mulkhan corak keberislaman sufistik sangat membantu dalam mensukseskan dakwah di nusantara.

“Jadi yang saya maksud adalah sufi yang sekedar untuk mencairkan situasi sehingga bisa berorientasi pada hakekat atau substansi. Kalau kita lihat penyebaran Islam di berbagai tempat, yang paling berjasa adalah para sufi” 

Sejarah Buktikan Pancasila Kalahkan Radikalisme dan Terorisme


Terkait fenomena kekerasan dan intoleransi berlatar agama, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahmud MD, memiliki penilian tersendiri. Menurutnya meskipun aksi-aksi intoleransi masih bercokolan di Indonesia namun tidaklah dalam skala yang massif.

Dengan demikian menurut Mahmud MD pada dasarnya di alam bahwa sadar masyarakat Indonesia, persatuan dan kesatuan bangsa masih menjadi kata yang sangat berarti.

“Secara umum kita masih sangat toleran terhadap perbedaan beragama. Saya tidak risau, karena masyarakat makin lama makin sadar bahwa kesatuan itu menjadi kebutuhan mutlak setiap manusia” tututr Mahdfud MD.

Mahfud MD percaya bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih menghargai dan menjunjung tinggi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Persoalan intoleransi hanyalah pada wilayah implementasi bukan paradigmatik.

“Intoleransi itu hanya sebatas pada implementasi, karena pada tataran konseptual paradigmatik, itu sudah selesai, dalam arti kita sudah bersepakat mendirikan negara dengan ideologi Pancasila. Secara konseptual paradigmatik, Pancasila sudah diuji, baik melalui cara legal dan illegal, selalu menang” Tambah Mahfud MD.

Karnaval Bajaj Untuk Kampanye Antiradikalisme


Bodi bajaj berwarna jingga terang itu penuh dengan dekorasi warna-warni. Bajaj yang satu ini menarik perhatian setiap pengguna jalan. Namun, ada yang menarik dari bajaj satu ini. Di atas kaca depan, terdapat sebuah slogan bertulis, ”Peace not Pieces,” alias Perdamaian dan Bukan Hancur Berkeping-keping.”

Ada pula bajaj lain yang memiliki tanda yang dapat menyala jika malam menjelang. Bertuliskan “Aman Sawary,” tanda itu bermakna Bajaj Perdamaian. Mohammad Salahuddin, salah seorang pengemudi “bajaj perdamaian” mengaku ide ini mampu meraup pelanggan. “Penumpang lebih menyukai dekorasi bajaj saya,” kata Salahuddin, girang.

Ide mendekorasi bajaj dengan slogan-slogan perdamaian merupakan karya seorang tokoh muda Pakistan, Ali Abbas Zaidi. Langkah ini diambil Zaidi karena kegelisahannya menyaksikan konflik sektarian yang telah menewaskan puluhan ribu warga Pakistan.

“Kami menggunakan ide ini sebagai strategi resolusi konflik,” kata Zaidi, yang kini menjabat sebagai ketua Aliansi Pemuda Pakistan, Jumat, 8 Februari 2013. Bajaj dipilih sebagai serangan balik terhadap kubu radikal yang kerap menggunakan alat transportasi beroda tiga itu. Melalui bajaj, kubu radikal kerap mengampanyekan perang terhadap India maupun Amerika Serikat.

Berbekal sumbangan sebesar US$ 25 ribu atau Rp 242 juta, Zaidi berserta kelompoknya telah mendekorasi lima bajaj di Kota Karachi. Mereka berencana akan menghias 50 bajaj lainnya di kota tersebut. Kelompok ini menggandeng seniman Nusrat Iqbal, yang terkenal di seluruh dunia untuk karya seni di kendaraan umum.

Karachi menjadi pilihan utama pria 25 tahun itu karena memiliki potensi kekerasan sektarian yang sangat besar. Berpenduduk 18 juta jiwa dari beragam suku dan aliran agama, kota ini menjadi saksi kematian 2.000 penduduk akibat kekerasan sektarian.

“Kami paham bahwa slogan damai di bajaj tidak akan menyelesaikan akar permasalahan kekerasan. Namun, kami berharap karya seni ini akan menjadi daun bagi pohon perdamaian,” ujar Nusrat. 

Sumber: tempo.co

Jika Negara Kuat, Gerakan Radikal Berbasis Apapaun Pasti Melemah


Aktivis LKiS Hairus Salim mengatakan, radikalisme merupakan reaksi atas modernitas. Rumitnya kehidupan modern dalam persepsi kelompok radikal itu lalu dianggap masuk ke agama. “Modernitas kan paradok sekali, menawarkan banyak hal, mulai baik-buruk, kiri-kanan, atas-bawah. Sebagai reaksinya, kemudian kelompok ini lari ke agama sebagai solusi,” kata Salim pada Lazuardi Birru.

Menurut Salim, kelompok radikal ini mempertentangkan antara agama dengan modernitas, agama dianggap sebagai solusi. “Sampai di sini kita harus melihat sebagai reaksi modernitas. Penamaan banyak sekali, ada yang fundamentalis, dan lain sebagainya,” imbuhnya.

Salim mengatakan, hal itu tidak bisa dihapuskan, namun hukum yang kuat bisa membatasi mereka untuk berbuat tidak bisa lebih dari yang mereka inginkan. Menurut dia, hukum yang tidak kuat, bisa membuat mereka melakukan banyak hal, seperti memaksa, mengancam, dan menyerang.

Lebih lanjut Salim mengatakan, jika negara kuat, gerakan radikal berbasis apapaun itu melemah. Tapi kalau negara lemah, gerakan radikal atau apapun yang non negara, berbasis apapun biasanya menguat, masyarakat sipil menguat juga termasuk gerakan radikal.

Negara Tidak Tegas, Kelompok Radikal Menggurita


Maraknya kelompok radikal di Indonesia tidak lepas dari terbukanya ruang demokrasi pacsareformasi 1998. Situsasi ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang antidemokrasi untuk memaksakan kehendaknya dalam konsepsi bangunan bangsa ini.

Selain itu, penegakan hukum yang lemah pada gerakan radikalisasi agama, dan tidak ada proses pidana bagi mereka yang menyebarkan dan memaksakan kehendaknya juga menjadi penyebab maraknya gerakan radikal tumbuh subur di Tanah Air.

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Qodrunnada Wahid mengatakan, banyak faktor yang mempengaruhi kelompok radikal tumbuh subur di Tanah Air. Pertama, perkembangan teknologi informasi. “Perkembangan teknologi informasi ini membuat orang mengkristal dengan kelompoknya masing-masing,” kata Alissa pada Lazuardi Birru.

Kedua, kelompok-kelompok yang menggunakan pendekatan kekerasan ini sebetulnya mempunyai akar persoalan politik di Indonesia. “Artinya ada kelompok yang digunakan oleh kelompok kepentingan tertentu, menggunakan isu agama. Kita tahu misalnya ada kelompok premanisme,” ungkapnya.

Jadi, kata Alissa, ada banyak faktor yang mempengaruhi, bukan hanya faktor sosial saja. Kemudian hal itu diperparah oleh situasi sosial politik yang ada. “Otonomi daerah membuat kekuatan negara itu tidak begitu kuat, akibatnya kepala daerah tertentu, bila kita ingin melakukan tekanan kepada kepala daerah ini, orang bisa melakukan isu agama, isu kekerasan untuk melakukan tekanan tersebut,” kata dia.

Karena itu, salah satu cara untuk menekan suburnya kelompok radikal, negara harus tegas, khususnya dalam menegakkan hukum. Menurut Alissa, kenapa saat ini masih banyak kelompok yang menggunakan kekerasan atas nama agama? Salah satu faktornya karena negara tidak menindak tegas para pelaku intoleransi itu. “Sikap negara yang lemah ini yang dapat memicu kekerasan atas nama agama semakin marak,” kritiknya.

Bangun Kohesi Sosial Efektif Cegah Benih Konflik


Menanggapi maraknya konflik sosial yang terjadi di belahan nusantara, peneliti radikalisme Muhammad Najib Azca mengatakan, ada beberapa hal yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk terciptanya kedamaian.

Pertama, harus tetap ada pendekatan keamanan. Menurut Najib, dalam hal ini, aparat keamanan melakukan operasi keamanan secara intensif. Misalnya melakukan penegakan hukum secara tegas, melakukan monitoring, memaksimalkan fungsi-fungsi intelijen untuk mendeteksi bagaimana dinamika kelompok-kelompok kecil itu. “Pendekatan keamanan itu tetap perlu dilakukan terhadap sisa-sisa potensi kekerasan yang masih ada di daerah,” kata dia.

Selain itu, lanjut Najib, harus dilakukan langkah-langkah yang lebih menyeluruh dan mendasar dari sekedar pendekatan-pendekatan keamanan tadi. “Ini bisa dilihat sebagai bagian dari strategi transformasi sosial,” Najib menjelaskan.

Menurut Najib, strategi transformasi sosial ini dalam arti proses-proses sosial yang semakin melemahkan atau bahkan menghilangkan akar-akar yang bisa menimbulkan terjadinya konflik di masyarakat. Akar-akar penyebab konflik itu bisa bermacam-macam, mulai dari ketimpangan sosial, kemiskinan atau kelompok yang termarginalisasi.

Selain itu, harus ada pendekatan yang lain, misalnya pendekatan kultural yang dilakukan secara intensif melalui dialog-dialog keagamaan, dan dialog kultural dengan masyarakat untuk membentengi masyarakat dari provokasi dan hal-hal yang bisa memicu konflik.

“Aspek-aspek yang berorientasi pada pembangunan dengan kohesi sosial dimana dulunya pernah terkoyak oleh konflik, harus dibangun kembali. Membangun kembali hubungan-hubungan dengan kelompok, seperti saling percaya antarmasyarakat,” pungkasnya.

Agama Kerap Dijadikan Instrumen Sebagai Pembenar


Kecenderungan orang menggunakan agama untuk melakukan kekerasan, sebenarnya sejarah panjang peradaban manusia. Ada dua sisi yang saling menggunakan satu dengan yang lainnya. Ada orang yang terlalu mencintai agama secara berlebihan dan dia gagal berkomunikasi dengan pihak di luar dirinya. Kegagalan itu dilampiaskan dengan cara-cara yang pragmatis dan negatif, dan manifestasinya adalah kekerasan.

Kemudian ada juga orang yang melihat agama sebagai instrumen yang gampang digunakan, baik untuk menihilkan kelompok lain, maupun untuk mencari interest lain, misalnya popularitas, kekuasaan dan pengaruh. Ada lagi yang memang melihat agama ini sebagai isu yang menarik untuk membuat kekacauan.

Wacana tersebut mengemuka dalam wawancara Lazuardi Birru dengan Koordinator KontraS, Haris Azhar. “Saya masih percaya bahwa agama mengandung nilai yang menuntun orang untuk menjadi baik. Dengan semangat baik itu, dengan nilai yang dipupuk terus-menerus, dilatih setiap hari, dengan beribadah atau menghayati nilai-nilai agama, harusnya itu menjadikan modal buat dia untuk mencari solusi dari perbedaan yang terjadi,” kata Haris.

Menurut dia, kekerasan atas nama agama itu bukan hal baru. Jadi, kata dia, seharusnya negara tidak gagap merespon situasi ini. Pengalaman bertebaran di mana-mana. Konteksnya beraneka macam. Hanya sekarang tinggal memilih, sikap apa yang akan diambil oleh negara untuk menyelesaikan masalah ini.

Namun masalahnya, Haris mengatakan, seringkali (oknum) negara mengambil keuntungan dari kekerasan atas nama agama ini. Karena itu, ia berharap negara harus bersikap tegas, khususnya dalam penegakan hukum terhadap kelompok intoleran ini.

BNPT: Teroris Hendak Memecah Persatuan TNI-Polri


Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Irjen Pol. Ansyaad Mbai mengatakan, teroris berupaya memecah persatuan TNI-Polri agar kekuatan penegak hukum melemah. Hal itu dikatakannya setelah penutupan latihan gabungan penumpasan terorisme di Palu, Sabtu (9/2/2013).

“Teroris sempat menyatakan bahwa musuhnya hanya Polri atau Densus 88 Antiteror sementara TNI lebih baik menyingkir. Teroris adalah musuh negara, tidak bisa dihadapi satu institusi saja,” ujar Ansyaad.

Menurutnya, hal itu adalah taktik teroris dalam upayanya memecah kekuatan negara. Dia berharap semua intitusi baik itu Polri, TNI dan pemerintah harus bersatu padu dalam memberantas terorisme di Tanah Air.

Selama satu pekan terakhir BNPT menggelar latihan gabungan penanggulangan terorisme di Kota Palu. Latihan tersebut diikuti ratusan prajurit TNI dan Polri guna meningkatkan koordinasi dan keterampilan pasukan.

Latihan itu berupa perang di lapangan terbuka, penjinakan bahan peledak, pembebasan sandera, penanganan korban, serta penanganan warga masyarakat yang mencoba melihat aksi penumpasan teroris. 

Sumber: Antara

Rabu, 16 Januari 2013

Polisi Sebar Foto 24 DPO Teroris Poso


Jajaran Satuan Tugas Aman Maleo I Polri menyebar foto 24 teroris di berbagai sudut kota Poso. Foto-foto para DPO ditempel di tempat-tempat umum. Mereka ini adalah DPO yang berkaitan dengan sejumlah penembakan, peledakan, dan pembunuhan di Poso.

Wadir Bimas Polda Sulteng, AKBP Hery Murwono, menjelaskan, tujuan penyebarluasan identitas para DPO tersebut untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai siapa-siapa saja yang kini menjadi buruan polisi.

Hery berharap, warga Poso dapat bekerja sama memberikan informasi bila mengetahui keberadaan para DPO tersebut.

Dari 24 tersangka yang telah diumumkan, seorang di antaranya tewas dalam penggerebekan Densus 88 Antiteror di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 4 Januari 2013. Sehingga, secara keseluruhan pihak kepolisian masih memburu 23 pelaku. Pemasangan foto dan identitas DPO sudah dilakukan sejak Senin, 14 Januari 2013 sore.

Kapolres Poso AKBP Eko Santoso menegaskan, salah satu DPO yang dicari oleh polisi adalah Santoso, DPO nomor satu yang buron sejak 2007. Diduga Santoso adalah pimpinan dan penggerak sejumlah teror di Poso.

“Ya termasuk Santoso. Santoso sudah tidak ada di rumah keluarganya di desa Kalora. Dia sudah tidak di sana, apalagi Brimob sekarang ditempatkan di sana” katanya.

Ketika ditanya mengapa baru sekarang ada penyebaran foto DPO teroris, polisi beralasan bahwa untuk menyebarkan foto ini harus dilakukan penyelidikan terlebih dahulu agar menghindari salah tangkap. “Ya kan kita harus menunggu hasil penyelidikan, jangan sampai salah,” tandasnya.

Sumber: Okezone, Merdeka

Islam yang Toleran Bisa Jadi Perekat NKRI


Menteri Agama, Suryadharma Ali mengatakan Indonesia mempunyai tingkat kerumitan yang tinggi dalam mengelola masyarakatnya yang sangat plural. Indonesia, kata dia mempunyai lebih dari 17.000 pulau, dengan ratusan bahasa, budaya, agama, dan adat istiadat. Namun, Indonesia dapat menyatukan semua itu dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Perekat utamanya, salah satunya adalah kekuatan Islam. Yaitu Islam yang toleran, Islam yang berwajah kemanusiaan, dan Islam yang rahmatan lil alamin,” kata Suryadharma saat menjadi pembicara di International Conference on “Islamic Studies in a Changing  World: Challenges and Opportunities” di Princess  of Songkhala University Pattani Campus, Pattani Province, Thailand, Senin (14/1/2013).

Ia menjelaskan penganut agama-agama di Indonesia memiliki dasar yang sehingga dapat bersatu dalam perbedaan. Dasar tersebut adalah kesadaran bahwa perbedaan itu fitrah. Jika tidak menerima perbedaan, maka mengingkari fitrah kemanusiaan.

“Selain itu, umat Islam Indonesia punya tiga konsep persatuan dan persaudaraan, yaitu ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathoniyah, dan ukhuwah basyariyah. Kesadaran akan fitrah kemanusiaan dan konsep persaudaraan inilah yang mendasari (masyarakat) Indonesia sehingga sampai hari ini dan seterusnya tetap bersatu dalam NKRI. Kita berbeda tetapi kita satu,” ujar Menag.

Namun, hal ini tidak berarti Indonesia tidak mempunyai konflik. Di Indonesia telah terjadi beberapa konflik, bahkan Indonesia mempunyai pengalaman terkait sejarah panjang pergulatan pemikiran yang sangat intens terkait relasi Islam dan negara.

“Alhamdulillah, Islam Indonesia telah menetapkan pilihan terbaiknya. Dengan modal seperti itu, Indonesia tepat jika dijadikan sebagai laboratorium kerukunan antar umat beragama dalam sebuah negara,” katanya.

Sumber: kemenag.go.id

Selasa, 15 Januari 2013

Sufisme, Soft Weapon Hadapi Radikalisme dan Terorisme


Presiden SBY pernah memberikan pujian pada perkembangan sufisme di Indonesia. Menurutnya keberislaman yang sufistik sangat cocok dengan konstelasi Indonesia yang sesak diisi berbagai macam keberagaman. Sufisme banyak mengajarkan cara yang elegan dalam penanganan sengketa atau konflik di tubuh masyarakat.

Memang sekilas dari luar tampak serupa antara seorang yang berpaham sufistik dan fundamentalis/radikalis. Mereka sama-sama berpakaian konservatif, berjenggot, bersorban dan hal lain dalam rangka meniru Nabi SAW. Namun bagi muslim sufistik alih-alih menggunakan kekerasan, mereka cenderung mengajarkan jalan cinta dalam menyebarkan ajaran-ajaran Islam.

 Menurut Ketua Cabang Istimewa NU Amerika-Kanada, Akhmad Sahal, Sufisme menawarkan pandangan keagamaan yang memberi kesejukan dan bertujuan membersihkan jiwa pribadi-pribadi muslim agar tidak terjebak kepada godaan duniawi, termasuk kekuasaan politik yang menindas sesama.

“Sufisme menolak propaganda kaum “takfiri” yang menganggap ummat muslimin yang tak sepandangan dengan mereka sebagai kafir. Sufisme juga menolak  propaganda para radikalis dan fundamentalis yang gencar menyebarkan kecurigaan serta kebencian kepada ummat beragama lain” kata Akhmad Sahal dalam akun Facebooknya.

Sufisme dapat menjadi penangkal ampuh radikalisme dan terorisme. Dalam konteks deradikalisasi dan deterorisasi, sufisme dapat digunakan sebagai soft weapon. Ajaran-ajaran sufisme tentang cinta dan toleransi adalah antipoda ajaran radikalisme dan terorisme yang begitu kental dengan kekerasan dan teror.

Mahfud: Islam Seharusnya Cegah Konflik


Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan keberadaan Islam di Indonesia seharusnya bisa mencegah konflik di masyarakat. Menurutnya, Islam adalah untuk bangsa, alam semesta, kenyamanan, dan untuk semua orang.

“Kalau dalam hati dengki dan jahat, berarti hatinya tidak nyaman, berarti tidak Islam. Islam selalu penuh toleransi,” katanya dalam Rakernas Ikatan Alumni Universitas Islam Indonesia (UII) di Jakarta, Minggu (13/1/2013).

Mahfud mengatakan kebanyakan orang hanya melihat konflik primordial seperti konflik antaragama. Hal itu menurutnya adalah persoalan manajemen pemerintahan. Padahal, konflik dalam bangsa tidak hanya hal tersebut.

Sumber: metrotvnews.com

Polda dan TNI Sulut Tutup Jalur Teroris


Tentara Nasional Indonesia (TNI) Sulawesi Utara dibawah pimpinan Komandan Korem (Danrem) 131 Santiago, Brigjen TNI Johny L Tobing dan Kepala Kepolisian Daerah (Polda) Brigjen Pol Dicky Atotoy berkomitmen menutup jalur masuk teroris di provinsi tersebut.

Langkah tersebut ditandai dengan pengiriman pasukan TNI di perbatasan Sulut, khususnya pulau terluar yang berbatasan dengan Filipina. Sementara Polda Sulut mengefektifkan pasukan Brigade Mobil (Brimob) di jalur darat.

“Selain pengamanan di daerah perairan kawasan terluar Indonesia, prajurit TNI juga disiagakan secara efektif di seluruh lokasi perbatasan daratan. Intinya TNI setiap saat terus melakukan tugas untuk menjaga wilayah NKRI dari berbagai ancaman kejahatan” ujar Tobing.

Sementara Kapolda Sulut menjelaskan, penjagaan di beberapa perbatasan laut, darat, dan udara tetap ditingkatkan operasinya.

“Untuk pengawasan kami melibatkan beberapa personil. Yakni anggota Brimob dan satuan kerja Polri agar sistem pengawasan dapat maksimal,” tutur Atotoy.

Menurutnya, Polda terus berupaya agar konflik yang terjadi di daerah lain tidak merembet ke Sulut.

“Memang Sulut berdekatan dengan wilayah konflik dan rentan terhadap ancaman teroris. Ada informasi yang masuk, di mana teroris mulai bergeser ke Sulut. Ini tetap kami tindaklanjuti. Operasi pengawasan terus ditingkatkan dan anggota polda sudah disiagakan di perbatasan-perbatasan,” tandas Atotoy.

Akhir pekan lalu, Danrem Tobing sudah mengirim sekitar 72 pasukan ke enam pulau terluar dan terkecil di perbatasan Sulut. Sementara Polda Sulut dan jajarannya kerap melakukan razia kendaraan di sejumlah kabupaten/kota, khususnya yang berada di wilayah perbatasan provinsi lain.

Sulut berbatasan dengan Sulawesi Tengah, wilayah di mana aksi teror kerap terjadi di Poso, salah satu kabupaten di provinsi tersebut.

Syariat Islam Tidak Batasi Gerak Muslimah


Kasus-kasus yang menimpa kaum perempuan banyak dijadikan legitimasi untuk membatasi gerak perempuan Islam di masyarakat. Padahal, seorang muslimah juga berhak untuk mencari ilmu.

Bahkan, seorang muslimah sama seperti laki-laki wajib mencari ilmu. Menurut Ketua Umum Persatuan Islam Istri (Persistri), Titin Suprihatin, melarang muslimah untuk mencari ilmu dan bersekolah adalah menghalangi hak asasinya. Bahkan, dalam hadist juga disebutkan muslimin. Dalam arti luas muslimah juga wajib untuk menuntut ilmu.
Mencari ilmu, tambah Titin, harus dilakukan secara terus menerus. Kalau shalat hanya dilakukan 5 kali sehari dan membutuhkan waktu beberapa menit, mencari ilmu lebih panjang waktunya. Sebab harus dilakukan terus menerus.

Terkait kasus-kasus yang menimpa seorang perempuan, menurut Kepala Prodi Peradilan Agama Fakultas Syariah Unisba itu, bukan menjadi alasan untuk melarang muslimah menuntut ilmu. “Harusnya pemerintah menciptakan kondisi aman dan kondusif bagi wanita untuk menuntut ilmu,” kata Titin.
Titin menambahkan, larangan bagi muslimah untuk bersekolah justru bertentangan dengan syariat Islam. Sebab, itu kalau masih ada yang melarang seorang muslimah untuk mengenyam pendidikan, itulah yang tidak menjalankan syariat. Terlebih, saat ini belajar bukan hanya dapat dilakukan dengan sekolah formal. Mencari ilmu juga bisa dilakukan dengan mengakses internet atau tanpa tatap muka dengan dosen atau guru.

Kehidupan Keberislaman di Indonesia Lebih Baik dari Negara Tetangga


Sebagai negara yang mayoritas penduduknya memeluk Islam, pakar politik Islam Greg Barton mengaprisiasi keberislaman muslim Indonesia. Menurutnya negara-negara seperti Malaysia dan Timur Tengah yang notabene mayoritas penduduknya juga sama-sama menganut Islam, kondisinya sangat berbeda dengan muslim Indonesia yang lebih inklusif dan dinamis.

Menurut penulis biografi Gus Dur ini muslim Indonesia sedikit banyak telah mendorong terjadinya demokratisasi di berbagai lini. Tidak seperti di negara-negara lain yang masih saja mengkonfrontasikan antara Islam dan demokrasi. Di Indonesia sudah banyak pemahaman yang melihat adanya kompatibilitas antara Islam dan demokrasi.

Indikasi lain yang juga tampak adalah hadirnya ormas-ormas Islam moderat seperti Muhammadiyah dan NU yang turut menyokong perjalanan demokrasi Indonesia. Namun meskipun demikian Greg Barton juga mengakui dalam perjalanannya, demokratisasi di Indonesia tidak sepi dari letupan-letupan yang menggonyang Indonesia menjadi negara yang demokratis.

Greg Barton tetap mengingatkan agar kondisi indah keberagamaan di Indonesia harus tetap dipantau dan ditingkatkan. “Kalau kita tidak betul-betul memprihatinkan kondisi kebebasan beragama dan intoleransi ini, tidak mustahil Indonesia akan seperti negara-negara lain yang lebih buruk kondisinya” kata Greg Barton.

Jumat, 11 Januari 2013

Banyak yang Tak Paham Islam tapi Bicara Islam


Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan saat ini banyak pihak yang tak mengerti tentang Islam tapi berbicara tentang Islam. Bahkan tak sedikit ada pihak yang mendeskreditkan Islam. Menurut dia mereka yang tak paham tentang Islam banyak menyebut Islam sebagai agama yang tidak toleran, agama yang tidak rukun, agama yang tidak damai dengan agama lain, agama yang menyebarkan ketakutan, agama yang menghalalkan kekerasan dan pembunuhan orang-orang tak berdosa dan seterusnya.

“Stigma- stigma seperti ini terus bergulir dan menggelinding dan kini kita sibuk menangkisnya,” ujar Menag dalam tausiah di Pondok Pesantren  Al Irsyad, Desa Gintungan, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah, Selasa (8/1/2013).

Suryadharma menegaskan Islam adalah agama yang damai, mencintai kerukunan, toleran, dan menyebarkan keselamatan serta penuh cinta kasih sayang. Untuk itu, tindakan-tindakan untuk terus menciptakan kerukunan antarumat beragama dan memberikan pencerahan agama yang benar hendaknya disampaikan kepada pihak-pihak yang tepat.

“Kita akan sangat malu jika ada kelompok yang mengaku Islam tapi melakukan tindak kekerasan. Demikian pula segelintir orang yang mengaku Islam tapi melakukan pemboman, melakukan pembunuhan dan mengganggu agama lain. Tindakan seperti itu sangat merugikan umat Islam,” tegasnya.

Menag menyampaikan apresiasi kepada seluruh aparat keamanan yang memberikan tindakan tegas terhadap segala bentuk aksi terorisme maupun tindakan anarkis yang mengatasnamakan apapun, baik demokrasi maupun mengatasnamakan agama.

Sementara itu, Gubernur Jawa Tengah, Bibit Waluyo mengatakan lembaga pendidikan Islam Al Irsyad harus mampu membuktikan lulusannya adalah generasi yang sangat menentang radikalisme dalam Islam.

“Yaitu generasi yang cinta damai, toleran dan mau menghormati perbedaan dalam keyakinan maupun keberagamaan. Jika ini dapat dibuktikan, lembaga ini akan mampu menjadi instrumen perdamaian dan keharmonisan dalam beragama yang menjadi dambaan bangsa ini,” ujar Bibit.

Rabu, 09 Januari 2013

1.000 Pemuda Digugah untuk Hindari Radikalisme


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siraj menggugah kesadaran seribu generasi muda untuk menghindari radikalisme dan terorisme. Kiai Said menegaskan pentingnya menjalankan prinsip toleransi diantara umat beragama. Menurut dia aksi terorisme yang mengatasnamakan agama justru merusak citra agama itu sendiri.

“Radikalisme apapun bentuknya termasuk terorisme hanya akan merusak nama agama. Untuk itu, cara-cara kekerasan harus dihindari dalam menggapai suatu tujuan,” tegas Kiai Said ketika memberikan kuliah umum bertema Pemuda dan Ancaman Kekerasan Atas Nama Agama di Auditorium Prof Dr Harun Nasution UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu (9/1/2013).

Kuliah umum tersebut diselenggarakan oleh Lazuardi Birru bekerja sama dengan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Ketua Lazuardi Birru Dyah Madya dalam sambutannya menyatakan di dalam agama tidak ada kekerasan, begitu pun sebaliknya di dalam kekerasan tidak ada agama. “Tidak ada kekerasan dalam agama, dan tak ada agama dalam kekerasan,” tandasnya.

Dyah mengatakan pihaknya merasa prihatin melihat beberapa generasi muda yang terlibat dalam aksi kekerasan bahkan aksi terorisme. Keprihatinan tersebut, kata dia menggugah Lazuardi Birru untuk memberikan pencerahan kepada generasi muda agar menghindari radikalisme dan terorisme.

“Kami berharap ke depan tak ada lagi pemuda yang terlibat terorisme. Generasi muda harus menolak kekerasan yang mengatasnamakan agama,” ujar Dyah.

Dyah menilai sosok Kiai Said sangat konsisten menolak segala bentuk aksi kekerasan terlebih yang mengatasnamakan agama. Menurut dia pandangan dan kearifan Kiai Said patut diketahui dan menjadi contoh bagi generasi muda Indonesia.

Rektor UIN Jakarta Komaruddin Hidayat menyatakan pentingnya membangun kebersamaan dalam menjaga eksistensi bangsa. “Untuk itu dibutuhkan figur muda pemimpin masa depan yang mampu menata bangsa dan dunia tanpa melalui jalan-jalan kekerasan, apalagi terorisme,” katanya.