Senin, 24 September 2012

Total 8 Terduga Teroris Jaringan Thoriq Ditangkap di Solo

Ilustrasi Penangkapan Teroris

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigadir Jendral (Pol) Boy Rafli Amar mengungkapkan, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri telah menangkap hidup 8 terduga teroris di Solo, Jawa Tengah. Para terduga teroris yang terkait jaringan M. Thoriq tersebut ditangkap di tempat yang berbeda.

“Hingga Sabtu pagi, polisi dapat membekuk BH (45) dan RK (45). Setelah memeriksanya, polisi dapat menangkap YP (60), FN (18), BN (24), K (43), IV (35), dan N (46),”ujar Boy di Mabes Polri, Jakarta, seperti dilansir laman Kompas, Sabtu (22/9/2012).

Boy menerangkan, RK alias Rudi Kurnia Putra adalah warga Makam Bergulo RT 03 RW 07, Serengan, Surakarta, ditangkap Jumat (21/9/2012) malam di depan Solo Square saat turun dari bus asal Cilacap.

Sedangkan BH alias Baderi Hartono adalah warga Griyan RT 05 RW 10 Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Surakarta, ditangkap pada Sabtu subuh di jalan di dekat rumahnya. Sedangkan keenam terduga teroris lainnya ditangkap Sabtu siang di tempat berbeda di wilayah Surakarta.

“Di kediaman BH ditemukan sebelas detonator, bahan kimia, belerang, bahan-bahan campuran untuk bom dan buku jihad. Di lokasi penggerebekan enam terduga teroris lainnya yang ditangkap siang tadi telah dilakukan penggeledahan dan ditemukan bom cair, Nitroglycerin, 4 bom pipa aktif, serta bahan campuran untuk bom,” tambahnya.

Boy menjelaskan, RK termasuk kelompok teroris yang bertanggung jawab atas penemuan bahan ledakan di Bojong Gede , dia direkrut dan dilatih di Poso. Menurutnya, RK menyimpan 3 bom di rumahnya yang disiapkan untuk mengebom polisi.

Sedangkan, BH sebagai amir kelompok teroris terkait dengan RK dan menyimpan 11 detonator dan bahan kimia pembuat bom dirumahnya. Menurut Boy, dugaan awal dari tujuan 8 terduga teroris tersebut adalah aksi pengeboman pada berbagai fasilitas Polri.

M. Thoriq adalah pemilik material bom yang ditemukan warga di rumahnya di Tambora, Jakarta Barat pada 5 September 2012 dan akhirnya menyerahkan diri ke Pos Polisi Jembatan Lima, Tambora, Jakarta Barat, pada 9 September 2012. Thoriq juga terkait dengan ledakan di Jalan Nusantara, Beji, Depok, Jawa Barat, pada 8 September 2012.

Mencegah Remaja dari Radikalisme


Belakangan ini di Tanah Air marak terjadi aksi kekerasan, bahkan radikalisme dan terorisme. Beberapa pelaku terorisme di negeri ini adalah kalangan remaja. Di usianya yang masih muda, sejumlah remaja telah terjangkit virus radikalisme, bahkan terorisme.

Misalnya, Dani Dwi Permana (19 tahun) menjadi pelaku bom bunuh diri terorisme di Hotel JW Mariot pada 2009 silam. Kasus remaja terlibat terorisme terbaru adalah Farhan (19 tahun) dan Muchsin (19 tahun) yang ditembak mati oleh Densus 88 di Solo beberapa waktu lalu.

Menurut Ketua Lazuardi Birru Dyah Madya generasi muda yang sedang mencari jati diri dan identitas memang sangat rentan menjadi korban atas infiltrasi gerakan radikalisme dan terorisme. Kelompok radikal dan teroris menjadikan remaja sebagai target utama untuk direkrut.

“Ada beberapa indikasi masalah radikalisme pada generasi muda, yaitu lemahnya tujuan kebangsaan, pandangan keagamaan yang eksklusif, penyebaran paham radikalisme baik konvensional dan digital, dan infiltrasi organisasi radikal dan teroris,” kata Dyah dalam dialog interaktif pelatihan “Birru Youth Training: Inspiring Future Leader for Peace” di Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional Cibubur, Jakarta Timur, Sabtu (22/9/2012) malam.

“Agar remaja terhindar dari virus radikalisme dan terorisme, jangan menjadi ABG labil, melainkan harus menjadi remaja yang aktif, cerdas, dan kreatif,” kata Dyah lagi.

Sementara itu, mantan Ketua Jamaah Islamiyah Mantiqi III Nasir Abas menambahkan, remaja harus sering sharing dan bersikap serta berpikir kritis agar terhindar dari paham radikalisme dan terorisme. Menurut dia, remaja ketika mendapatkan informasi terutama pengetahuan keagamaan dari orang lain apalagi yang tak dikenal maka harus diceritakan kepada orangtua, guru atau teman.

“Sharing itu agar remaja mendapatkan second opinion. Jika tak memperoleh second opinion maka dia akan terus membenarkan pendapat orang tersebut,” kata Nasir.

Nasir mengatakan jika ada seseorang yang menganggap pemerintah Indonesia membenci dan memusuhi Islam, dan umat nonmuslim sebagai musuh umat Islam, kemungkinan dia telah terjangkit virus radikalisme.

“Cuci otak pemikiran radikalisme dilakukan secara bertahap yang intinya agar membenci umat agama lain dan pemerintah. Pemikiran radikalisme bisa berasal dari buku, internet maupun pengajian keagamaan secara tatap muka,” ujarnya.

Struktur Jaringan Teroris Baru Sangat Acak


Struktur jaringan teroris baru saat ini sangat acak. Demikian penilaian Indonesian Police Watch. Hal tersebut berimbas pada sulitnya upaya polisi untuk menelusuri dan memutus mata rantai kelompok-kelompok tersebut.

“Lihat saja kelompok teror di Beji, Depok, yang merupakan anggota teroris baru yang belum berpengalaman,” kata Ketua Presidium IPW Neta S. Pane, Ahad, 23 September 2012. Para pemain baru ini juga masih ceroboh sehingga banyak terjadi kesalahan dalam perakitan bom. Muhammad Thorik, misalnya, gagal merangkai bom sehingga rakitan tersebut mengeluarkan asap di rumahnya, Tambora, Jakarta Barat.

Kegagalan juga terjadi pada Anwar –anggota komplotan Thorik, saat bom yang dirakit di kontrakan Beji justru meledak dan menyebabkan kematian Anwar beberapa hari kemudian di Rumah Sakit RS Polri Dr. Sukamto, Kramat Jati.

Sabtu, 22 September 2012, polisi menangkap delapan orang tersangka teroris di Solo. Salah satunya diduga sebagai Amir kelompok Thorik yaitu tersangka Baderi. Dia diduga menyiapkan bom selama empat bulan.

Baderi dan tujuh temannya sendiri diduga sebagai buron tersangka teroris yang mengikuti pelatihan militer di Poso. Penangkapan Baderi terjadi berkat kesaksian Thorik, Naim, dan Mujib.

“Mata rantai struktur ini masih sulit diputus aparat keamanan, sehingga aksi sporadis kerap bermunculan,” kata Neta.

Sumber: Tempo.co

Mahasiswa dan Pemuda ikuti Pelatihan Anti-Teror


Pelatihan antiteror dan radikalisme digelar oleh Badan Nasional Pengaggulangan Teroris (BNPT) di Malang. Acara ini terselengara bekerjasama dengan Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, Malang. Kegiatan yang diikuti 55 orang peserta ini dimulai pada 21 September 2012 dan berlangsung hingga hari ini, Minggu, 23 September 2012.

Salah seorang pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam, Hilman Wadjdi, menjelaskan bahwa para peserta pelatihan terdiri dari mahasiswa, takmir masjid, dan forum komunikasi antarumat beragama. “Mahasiswa dan pemuda berperan penting menanggulangi terorisme,” kata Hilman, Minggu, 23 September 2012.

Sekretaris International Conference for Islamic Scholars, Kiai Haji Hasyim Muzadi, mengatakan teror dan radikalisme telah menjadi tamparan keras bagi pemerintah Indonesia. “Indonesia selama ini dikenal sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam yang moderat,” ujar Hasyim yang juga pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al Hikam.

Menurut Hasyim, aksi radikalisme muncul sejak era reformasi. Negara semakin terbuka sehingga semakin bebas, termasuk dalam kegiatan belajar agama. Tak disadari ternyata banyak umat muslim berguru agama kepada tokoh Islam yang memiliki faham radikalisme.

Dampaknya, kata Hasyim yang pernah menjadi Ketua Umum PBNU itu, mereka melakukan aksi terorisme di tanah air dan korbannya pun sebagian umat muslim.

Radikalisme di Indonesia, kata Hasyim pula, masih tumbuh dan berkembang serta sulit diberantas. Tak cukup memenjarakan atau menghukum pelaku terorisme, tapi juga harus mengubah pemikiran mereka agar kembali kepada ajaran Islam yang damai dan toleran.

Hasyim menjelaskan bahwa pemahaman tentang Islam yang damai dan toleran juga harus dilakukan kepada remaja dan pemuda agar mereka tak mudah terjebak dan ikut ajaran Islam radikalisme. Apalagi pelaku teror sejak lama mendekati kaum terdidik, mahasiswa, dan pemuda. “Mata rantai radikalisme harus diputus,” ucapnya.

Pemahaman antiteror dan antiradikalisme, menurut Hasyim, bertujuan untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara yang damai dan tenteram. Pada awal kemerdekaannya, Indonesia terbentuk dari beragam jenis suku, agama, ras, dan etnis. Tidak banyak gejolak dan ancaman keamanan karena ideologi Pancasila menjadi pemersatu rakyat Indonesia.

Senin, 03 September 2012

Kelompok teroris Solo sering berlatih di air terjun Tawangmangu


Bayu Setiyono alias Bayu Setiawan, terduga teroris yang ditangkap hidup-hidup di Solo kemarin, kerap berpergian bersama kelompoknya ke objek wisata air terjun Tawangmangu. Bukan untuk berwisata, melainkan untuk melatih fisik dan mental.

Lokasi wisata ini berada di kaki Gunung Lawu atau Gunung Sewu, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah .

Tak hanya sekali, kepergian Bayu dan teman-temannya itu dilakukan setiap hari Minggu setelah berkumpul di rumah orangtuanya. Mereka sering mengadakan latihan fisik dengan berlari-lari tanpa alas kaki menuju obyek wisata Tawangamangu atau dikenal air terjun atau Grojogan Sewu.

"Setahun yang lalu masih saya ingat. Bayu bersama teman-temanya sering jogging, lari-lari tanpa alas kaki dari sini (kampung orang tua kandung Bayu) sampai ke Tawangmangu," jelas sumber merdeka.com, Sabtu (1/9) di Desa Tipes, Solo, Jawa Tengah.

Frekuensi dan durasi latihan yang dilakukan Bayu mulai sering dilakukan dalam setahun terakhir, yakni sebelum mereka menyerang di tiga tempat: Pospam Gadegan, Pospam Gemblegan dan terakhir Pospam Matahari Singosaren yang menewaskan satu anggota polisi Bripka Data.

Secara rutin tiap minggu latihan fisik dan mental ini dilakukan berangkat pagi kemudian pulang sampai sore hari. Rutinitas itu dilakukan dengan cara melewati jalan-jalan dan jalur protokol utama di Kota Solo dan Karanganyar.

"Setahun lalu yang dalam durasi sering bahkan di luar hari minggu usai sholat Subuh," pungkas yang mengaku dekat dengan orang tua kandung Bayu ini.

Kini, untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya Bayu harus mendekam di balik jeruji besi tahanan Polri usai digerebek Densus 88. Sementara, dua rekannya Farhan dan Mukhsin tewas tertembak di belakang Lapangan Parkir Lotte Mart, Serengan, Kota Solo.

Gerindra: Perlu operasi khusus untuk perangi teroris Solo


Sekjen Partai Gerindra, Ahmad Muzani mengatakan, untuk mencegah terjadinya tindak terorisme di Solo, perlu dilakukan operasi khusus yang melibatkan Polri dan TNI. Pasalnya, teror dan penembakan di Solo seringkali terjadi.

"Kejadian di Solo sudah berulang, perlu dilakukan operasi khusus. Tindakan khusus itu juga mencegah agar tidak merambat kemana-mana," kata Muzani yang juga anggota Komisi I DPR kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (1/9).

Dia menegaskan, perlu penambahan personel Polri maupun TNI dalam operasi khusus itu. Terjadinya aksi teror di Solo yang berulang-ulang dikarenakan intelijen lemah dan lengah.

"Aparat, inteligen lengah karena sudah merasa aman, ini yang jadi persoalan. Kita tidak boleh lengah, selalu siap. Sebab ini bukan persoalan agama. Ini teroris dan nyata adanya," jelasnya.

Di samping itu, Muzani mensinyalir tidak ada koordinasi antara BIN dan aparat di lapangan guna mengantisipasi munculnya terorisme. Mengingat kondisi itu, dia meminta agar kemampuan intel perlu ditingkatkan.

"Ada kelemahan koordinasi aparat yang memimpin di lapangan. Bisa jadi BIN berikan informasi tapi tak ditangkap oleh kepolisian. Bisa sebaliknya, BIN tidak memberikan informasi terkait sinyal adanya terorisme. Jadi semua perlu ditingkatkan," kata Muzani.

Muzani juga meminta Menko Polhukam, Djoko Suyanto selaku pimpinan tertinggi Polkam untuk meningkatkan kinerja para inteligen.

"Soal Polkam makin runyam dan koordinasi Polkam makin kendor. Djoko Suyanto harus meningkatkan kinerja para intelijen," tegasnya.

Minggu, 02 September 2012

Pengamat: Motif Teror Solo Terkait Kematian Dulmatin


Motif aksi teror penembakan polisi di Solo diduga terkait dengan kematian Dulmatin pada tahun 2010. “Sejak kematian Dulmatin, ada perbedaan sasaran yang dilakukan oleh kelompok teroris,” ujar Pengamat Pertahanan dan Keamanan asal Universitas Indonesia, Andi Widjajanto, saat dihubungi Tempo, Sabtu, 1 September 2012.

Jika sebelumnya kelompok teroris menyasar sasaran klasik seperti rumah ibadah, simbol komersial yang mewakili asing, ataupun warga negara asing, kini mereka cenderung mengincar aparat pemerintahan. “Siapapun yang dianggap bertanggung jawab atas kematian Dulmatin dan dua rekannya,” kata dia.

Dulmatin merupakan tokoh teroris paling diburu. Dia tewas dalam sebuah penyergapan di Pamulang, Tangerang. Tersangka Bom Bali I ini tewas diberondong peluru Detasemen Khusus 88 Antiteror.

Menurut Andi, kelompok teror Solo bukanlah faksi baru. “Pelaku-pelakuknya memang orang baru, tapi dilatih dan direkrut oleh orang lama,” kata dia. Dia menyebut kelompok teror ini terkait dengan Kelompok Teroris 5 dan 11 yang terdiri atas alumni teroris di Medan dan Poso. “Salah satu dari pelaku kemungkinan juga terkait dengan jaringan Ngruki sehingga punya akses logistik ke Filipina,” dia menambahkan.

Rangkaian penembakan di Solo menurut Andi, hanyalah sebuah serangan awal. “Selalu ada peningkatan aksi teror di bulan September hingga akhir tahun menuju sasaran utama,” katanya. Kelompok teroris, hendak memberikan pesan yang lebih luas bahwa mereka masih eksis. “Selain itu, ini adalah isyarat untuk kelompok lain agar mulai bergerak dan melakukan konsolidasi.”

Untuk itu, intelijen wajib bekerja dengan cepat untuk segera mengidentifikasi sasaran utama para teroris. “Anggota polisi hanyalah sasaran antara para pelaku teror,” kata Andi.

Sumber: Tempo.co.id

MUI: Tidak Boleh Ada Kekerasan Atas Nama Apapun


Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Amidhan mengatakan, semua pihak tidak boleh melakukan kekerasan atas nama apapun apalagi atas nama agama. “Kekerasan atas nama apapun tidak diperkenankan. Apalagi agama, karena agama itu luhur,” kata Amidhan di Jakarta, Rabu.

Pernyataan Amidhan tersebut menanggapi kerusuhan yang terjadi di Sampang pada Ahad lalu. Kekerasan terhadap komunitas Syiah kembali terjadi di Kabupaten Sampang, Madura. Sekitar 200 warga anti-Syiah menyerbu permukiman milik komunitas Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur.

“Permasalahan yang terjadi di Sampang itu pada mulanya adalah persoalan keluarga antara kakak dan adik yang punya santri dan berbeda aliran,” kata dia.

Persoalan keluarga tersebut kemudian menjalar menjadi konflik aliran. Menurut Amidhan, dalam satu komunitas yang masyarakatnya belum dewasa, belum mampu berlapang dada menerima perbedaan, maka akan timbul keresahan. “Solusinya sekarang diserahkan saja ke Pemda mana jalan terbaik untuk masalah ini,” tambah dia.

Sumber: Antara