Senin, 24 September 2012

Mencegah Remaja dari Radikalisme


Belakangan ini di Tanah Air marak terjadi aksi kekerasan, bahkan radikalisme dan terorisme. Beberapa pelaku terorisme di negeri ini adalah kalangan remaja. Di usianya yang masih muda, sejumlah remaja telah terjangkit virus radikalisme, bahkan terorisme.

Misalnya, Dani Dwi Permana (19 tahun) menjadi pelaku bom bunuh diri terorisme di Hotel JW Mariot pada 2009 silam. Kasus remaja terlibat terorisme terbaru adalah Farhan (19 tahun) dan Muchsin (19 tahun) yang ditembak mati oleh Densus 88 di Solo beberapa waktu lalu.

Menurut Ketua Lazuardi Birru Dyah Madya generasi muda yang sedang mencari jati diri dan identitas memang sangat rentan menjadi korban atas infiltrasi gerakan radikalisme dan terorisme. Kelompok radikal dan teroris menjadikan remaja sebagai target utama untuk direkrut.

“Ada beberapa indikasi masalah radikalisme pada generasi muda, yaitu lemahnya tujuan kebangsaan, pandangan keagamaan yang eksklusif, penyebaran paham radikalisme baik konvensional dan digital, dan infiltrasi organisasi radikal dan teroris,” kata Dyah dalam dialog interaktif pelatihan “Birru Youth Training: Inspiring Future Leader for Peace” di Pusat Pemberdayaan Pemuda dan Olahraga Nasional Cibubur, Jakarta Timur, Sabtu (22/9/2012) malam.

“Agar remaja terhindar dari virus radikalisme dan terorisme, jangan menjadi ABG labil, melainkan harus menjadi remaja yang aktif, cerdas, dan kreatif,” kata Dyah lagi.

Sementara itu, mantan Ketua Jamaah Islamiyah Mantiqi III Nasir Abas menambahkan, remaja harus sering sharing dan bersikap serta berpikir kritis agar terhindar dari paham radikalisme dan terorisme. Menurut dia, remaja ketika mendapatkan informasi terutama pengetahuan keagamaan dari orang lain apalagi yang tak dikenal maka harus diceritakan kepada orangtua, guru atau teman.

“Sharing itu agar remaja mendapatkan second opinion. Jika tak memperoleh second opinion maka dia akan terus membenarkan pendapat orang tersebut,” kata Nasir.

Nasir mengatakan jika ada seseorang yang menganggap pemerintah Indonesia membenci dan memusuhi Islam, dan umat nonmuslim sebagai musuh umat Islam, kemungkinan dia telah terjangkit virus radikalisme.

“Cuci otak pemikiran radikalisme dilakukan secara bertahap yang intinya agar membenci umat agama lain dan pemerintah. Pemikiran radikalisme bisa berasal dari buku, internet maupun pengajian keagamaan secara tatap muka,” ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar