Selasa, 19 Februari 2013

Terorisme Tidak Identik dengan Islam


Dosen Fakultas Adab Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta mengatakan, aksi terorisme yang kerap terjadi di belahan dunia, khususnya Indonesia tidak bisa identik dengan Islam. Karena aksi teror itu bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa mengenal agama, etnis, bangsa, dan negara.

“Aksi terorisme itu bisa dilakukan oleh siapapun. Karena itu tidak bisa diidentik dengan Islam. Hanya kebetulan saja beberapa aksi teror yang terjadi di Indonesia dilakukan oleh mereka yang mengaku dirinya Islam,” kata Ainul Yaqin pada Lazuardi Birru.

Menurut dia, orang kadang hanya memaknai terorisme itu terkait dengan sesuatu yang ada kaitannya dengan agama, padahal tingkah laku kelompok, tingkah laku sebauh negara yang melakukan teror pada negara lain juga masuk kategori terorisme.

Karena itu, ia berharap agar publik tidak lagi berpikiran sempit, apalagi mengidentikkan terorisme dengan Islam. Menurut dia, aksi terorisme bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak memandang agama, etnis, bangsa, dan negara. “Meskipun sekarang pandangan orang pada umumnya mengaitkan terorisme dengan Islam, itu karena ulah oknum yang tidak bertanggungjawab,” ungkapnya.

Jumat, 15 Februari 2013

Kelompok Intoleran Telah Merongrong NKRI


Sebagai nation-state yang dibangun di atas kebhinnekaan, setidaknya Indonesia sudah menunjukkan pada dunia internasional sebagai negara yang sukses mengakomodir pelbagai kelompok dan kepentingan yang beragam. Karena itu, sudah selayaknya prestasi bangsa ini dipertahankan.

Namun bukan berarti kesuksesan itu berjalan mulus. Banyak tantangan yang dihadapi oleh bangsa ini dalam mengawal keberagaman dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Salah satu rongrongan itu datang dari kelompok intoleran yang kerap melakukan aksi kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Karena ulah kelompok intoleran ini, kemajemukan yang menjadi ciri khas bangsa ini terancam. Bahkan kelompok intoleran ini sudah merongrong NKRI.

Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Qodrunnada Wahid membenarkan hal itu. Menurut dia, kelompok intoleran ini telah merongrong keutuhan NKRI. “Mereka telah merongrong NKRI. Ada pemikiran Gus Dur yang beliau ungkapkan di salah satu tulisannya. Beliau menulis bahwa Indonesia dibangun dari keberagaman. Kalau tidak ada keberagaman itu, berarti tidak akan ada Indonesia,” kata Alissa pada Lazuardi Birru.

Menurut dia, tahun 1945 itu adalah kesepakatan dari pelbagai elemen yang ingin bersama-sama memerdekakan diri. Artinya, kata Alissa, kalau tidak ada keberagaman, tidak akan ada Indonesia, yang ada hanya Keraton Ngayogyakarta, Negara Pasundan, Republik Federal Sumatra, Republik Maluku Selatan, dan lain-lain. “Tapi karena waktu itu mereka bersepakat untuk membangun satu bangsa, satu negara, maka jadilah Indonesia,” imbuhnya.

Lebih jauh Alissa mengatakan, di negara Indonesia ini tidak ada entitas yang lebih tinggi. Bukan Republik Jawa, kemudian yang lain ikut, atau bukan Suku Bangsa Melayu, lalu yang lain ikut. “Kita tidak punya daratan Indonesia, adanya Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan lain sebagainya yang sepakat menyebut dirinya sebagai Negara Indonesia. Artinya kalau sekarang ada yang menawarkan ideologi yang berbeda untuk bangsa kita, maka sebenarnya itu meniadakan Indonesia,” pungkasnya.

Senin, 11 Februari 2013

Islam Sufistik Ampuh Tangkal Paham Radikalisme dan Terorisme Islam


Untuk menangkal arus radikalisme dan terorisme dalam tubuh Islam, harus ada gerakan atau mekanisme internal tubuh Islam itu sendiri. Menurut cedekiawan muslim, Munir Mulkhan, salah satunya bisa dengan diseminasi keberislaman yang sufistik.

Namun Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini lebih menspesifikkan tasawuf yang tak bertarekat. Karena menurutnya sufi dalam tarekat juga menciptakan ekslusifisme sendiri.

“Kalau menurut saya tasawuf bisa memberikan solusi atas pemahaman agama yang radikal. Tapi bukan tasawuf yang bertarekat. Karena dalam tarekat bersifat ekslusif dalam artian membuat orang semakin terperangkap pada kelompok-kelompok. Jadi maksud saya adalah tasawuf dalam pengertian maqasid syari’ah” tutur Munir Mulkhan.

Ajaran-ajaran tasawuf sangat menekankan aspek substansial dan esensial dari Islam. berbeda dengan paham keislaman radikal atau teroris yang memaknai dalil-dalil secara literal sehingga tidak bisa berkompromi kondisi kekinian.

Bahkan menurut Munir Mulkhan corak keberislaman sufistik sangat membantu dalam mensukseskan dakwah di nusantara.

“Jadi yang saya maksud adalah sufi yang sekedar untuk mencairkan situasi sehingga bisa berorientasi pada hakekat atau substansi. Kalau kita lihat penyebaran Islam di berbagai tempat, yang paling berjasa adalah para sufi” 

Sejarah Buktikan Pancasila Kalahkan Radikalisme dan Terorisme


Terkait fenomena kekerasan dan intoleransi berlatar agama, Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahmud MD, memiliki penilian tersendiri. Menurutnya meskipun aksi-aksi intoleransi masih bercokolan di Indonesia namun tidaklah dalam skala yang massif.

Dengan demikian menurut Mahmud MD pada dasarnya di alam bahwa sadar masyarakat Indonesia, persatuan dan kesatuan bangsa masih menjadi kata yang sangat berarti.

“Secara umum kita masih sangat toleran terhadap perbedaan beragama. Saya tidak risau, karena masyarakat makin lama makin sadar bahwa kesatuan itu menjadi kebutuhan mutlak setiap manusia” tututr Mahdfud MD.

Mahfud MD percaya bahwa mayoritas masyarakat Indonesia masih menghargai dan menjunjung tinggi Pancasila sebagai ideologi bangsa. Persoalan intoleransi hanyalah pada wilayah implementasi bukan paradigmatik.

“Intoleransi itu hanya sebatas pada implementasi, karena pada tataran konseptual paradigmatik, itu sudah selesai, dalam arti kita sudah bersepakat mendirikan negara dengan ideologi Pancasila. Secara konseptual paradigmatik, Pancasila sudah diuji, baik melalui cara legal dan illegal, selalu menang” Tambah Mahfud MD.

Karnaval Bajaj Untuk Kampanye Antiradikalisme


Bodi bajaj berwarna jingga terang itu penuh dengan dekorasi warna-warni. Bajaj yang satu ini menarik perhatian setiap pengguna jalan. Namun, ada yang menarik dari bajaj satu ini. Di atas kaca depan, terdapat sebuah slogan bertulis, ”Peace not Pieces,” alias Perdamaian dan Bukan Hancur Berkeping-keping.”

Ada pula bajaj lain yang memiliki tanda yang dapat menyala jika malam menjelang. Bertuliskan “Aman Sawary,” tanda itu bermakna Bajaj Perdamaian. Mohammad Salahuddin, salah seorang pengemudi “bajaj perdamaian” mengaku ide ini mampu meraup pelanggan. “Penumpang lebih menyukai dekorasi bajaj saya,” kata Salahuddin, girang.

Ide mendekorasi bajaj dengan slogan-slogan perdamaian merupakan karya seorang tokoh muda Pakistan, Ali Abbas Zaidi. Langkah ini diambil Zaidi karena kegelisahannya menyaksikan konflik sektarian yang telah menewaskan puluhan ribu warga Pakistan.

“Kami menggunakan ide ini sebagai strategi resolusi konflik,” kata Zaidi, yang kini menjabat sebagai ketua Aliansi Pemuda Pakistan, Jumat, 8 Februari 2013. Bajaj dipilih sebagai serangan balik terhadap kubu radikal yang kerap menggunakan alat transportasi beroda tiga itu. Melalui bajaj, kubu radikal kerap mengampanyekan perang terhadap India maupun Amerika Serikat.

Berbekal sumbangan sebesar US$ 25 ribu atau Rp 242 juta, Zaidi berserta kelompoknya telah mendekorasi lima bajaj di Kota Karachi. Mereka berencana akan menghias 50 bajaj lainnya di kota tersebut. Kelompok ini menggandeng seniman Nusrat Iqbal, yang terkenal di seluruh dunia untuk karya seni di kendaraan umum.

Karachi menjadi pilihan utama pria 25 tahun itu karena memiliki potensi kekerasan sektarian yang sangat besar. Berpenduduk 18 juta jiwa dari beragam suku dan aliran agama, kota ini menjadi saksi kematian 2.000 penduduk akibat kekerasan sektarian.

“Kami paham bahwa slogan damai di bajaj tidak akan menyelesaikan akar permasalahan kekerasan. Namun, kami berharap karya seni ini akan menjadi daun bagi pohon perdamaian,” ujar Nusrat. 

Sumber: tempo.co

Jika Negara Kuat, Gerakan Radikal Berbasis Apapaun Pasti Melemah


Aktivis LKiS Hairus Salim mengatakan, radikalisme merupakan reaksi atas modernitas. Rumitnya kehidupan modern dalam persepsi kelompok radikal itu lalu dianggap masuk ke agama. “Modernitas kan paradok sekali, menawarkan banyak hal, mulai baik-buruk, kiri-kanan, atas-bawah. Sebagai reaksinya, kemudian kelompok ini lari ke agama sebagai solusi,” kata Salim pada Lazuardi Birru.

Menurut Salim, kelompok radikal ini mempertentangkan antara agama dengan modernitas, agama dianggap sebagai solusi. “Sampai di sini kita harus melihat sebagai reaksi modernitas. Penamaan banyak sekali, ada yang fundamentalis, dan lain sebagainya,” imbuhnya.

Salim mengatakan, hal itu tidak bisa dihapuskan, namun hukum yang kuat bisa membatasi mereka untuk berbuat tidak bisa lebih dari yang mereka inginkan. Menurut dia, hukum yang tidak kuat, bisa membuat mereka melakukan banyak hal, seperti memaksa, mengancam, dan menyerang.

Lebih lanjut Salim mengatakan, jika negara kuat, gerakan radikal berbasis apapaun itu melemah. Tapi kalau negara lemah, gerakan radikal atau apapun yang non negara, berbasis apapun biasanya menguat, masyarakat sipil menguat juga termasuk gerakan radikal.

Negara Tidak Tegas, Kelompok Radikal Menggurita


Maraknya kelompok radikal di Indonesia tidak lepas dari terbukanya ruang demokrasi pacsareformasi 1998. Situsasi ini kemudian dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang antidemokrasi untuk memaksakan kehendaknya dalam konsepsi bangunan bangsa ini.

Selain itu, penegakan hukum yang lemah pada gerakan radikalisasi agama, dan tidak ada proses pidana bagi mereka yang menyebarkan dan memaksakan kehendaknya juga menjadi penyebab maraknya gerakan radikal tumbuh subur di Tanah Air.

Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Qodrunnada Wahid mengatakan, banyak faktor yang mempengaruhi kelompok radikal tumbuh subur di Tanah Air. Pertama, perkembangan teknologi informasi. “Perkembangan teknologi informasi ini membuat orang mengkristal dengan kelompoknya masing-masing,” kata Alissa pada Lazuardi Birru.

Kedua, kelompok-kelompok yang menggunakan pendekatan kekerasan ini sebetulnya mempunyai akar persoalan politik di Indonesia. “Artinya ada kelompok yang digunakan oleh kelompok kepentingan tertentu, menggunakan isu agama. Kita tahu misalnya ada kelompok premanisme,” ungkapnya.

Jadi, kata Alissa, ada banyak faktor yang mempengaruhi, bukan hanya faktor sosial saja. Kemudian hal itu diperparah oleh situasi sosial politik yang ada. “Otonomi daerah membuat kekuatan negara itu tidak begitu kuat, akibatnya kepala daerah tertentu, bila kita ingin melakukan tekanan kepada kepala daerah ini, orang bisa melakukan isu agama, isu kekerasan untuk melakukan tekanan tersebut,” kata dia.

Karena itu, salah satu cara untuk menekan suburnya kelompok radikal, negara harus tegas, khususnya dalam menegakkan hukum. Menurut Alissa, kenapa saat ini masih banyak kelompok yang menggunakan kekerasan atas nama agama? Salah satu faktornya karena negara tidak menindak tegas para pelaku intoleransi itu. “Sikap negara yang lemah ini yang dapat memicu kekerasan atas nama agama semakin marak,” kritiknya.